KURIKULUM ASMAUL HUSNA
Oleh : Yayan Putra
Suatu
pagi yang cerah di bawah pohon yang rindang saat aku menikmati segarnya udara
pagi tiba-tiba dikagetkan seorang anak laki-laki.
“Assalamualaikum,
Pak!”
“Wa...
Walaikum salam.” jawabku kaget.
“Hehe,
maaf Pak mengagetkan. Sendirian saja ni, Pak?” tanya Rasya. Rasya adalah salah
satu muridku yang pandai. Saat di madrasah dia tidak pernah absen dari juara 1.
Dia juga sering menjuarai berbagai lomba dari tingkat kecamatan hingga tingkat
provinsi. Kini Ia kelas VIII di sebuah SMP favorit di kota Salatiga.
“
Ah, tidak apa-apa. Iya nih sendirian. Mau ngajak teman jam segini belum pada
bangun. Biasa usia-usia seperti kakakmu itu memanfaatkan hari libur gini untuk
tidur sepuasnya. Kamu sendirian juga?” Usiaku dengan Rasya memang tidak terpaut
jauh. Bisa dibilang aku sesusia dengan kakaknya. Ketika pertama aku mengajarnya
saat itu aku masih kuliah semester 6 dan dia kelas lima. Sejak bertemu itu aku
sudah bisa menebak jika dia adalah anak yang cerdas.
“Tidak,
Pak. Tadi sama temen-temen tapi ga tahu pada kemana. Kayaknya lagi pada cari
minum. Nana dari tadi sudah ngeluh kalau haus. Mungkin dia sama Dita baru cari
minum di kios pojok sana.”
“Terus
kenapa kamu ga ikut?”
“Tadi
dari kejauhan saya melihat Pak Yayan terus saya hampiri deh. Sebenarnya ada
sesuatu yang ingin saya tanyakan dan ingin saya sampaikan ke Pak Yayan.”
“Kayaknya
tenanan men1. Ingin
menyampaikan apa to?”
“Iya
Pak. Ini memang masalah serius.”
“Ok.
Ok. Kita cari tempat yang nyaman sambil sarapan untuk ngobrol.” Aku ajak Rasya
mencari tempat makan untuk melanjutkan obrolannya. Baru dua langkah berjalan
tiba-tiba Hp Rasya berbunyi. Nana dan Dita ngirim pesan jika mencarinya.
“Kayaknya
di ujung jalan sana ada warung soto yang luas Pak, ayo kita ke sana saja.” ajak
Rasya. Rasya kemudian membalas pesan Nana jika dia akan menyusulnya. Nana di
duruh nunggu di depan kios dia beli minum, nanti dia akan menghampiri sekalian
untuk diajak sarapan. Setelah sampai kami berempat kemudian pesan soto.
“Memangnya
mau menyampaikan apa to, Sya?” aku mengawali obrolan.
“Begini
lho Pak Yayan. Pak Yayan tahu kan kalau bapak saya itu guru SD. Nah tahun ini
kan beliau mendapat jatah kelas IV, sehingga harus menerapkan kurikulum 2013.
Bapak itu selalu mengeluh dalam pelaksanaannya. Apa bener jika kurikulum 2013
itu susah Pak, sampai-sampai kok Mendibud mengundur pelaksanaannya?” tanya Rasya
panjang lebar. Aku sendiri tidak kaget jika dia bertanya hal semacam ini. Hal
ini sebenarnya bukan termasuk ranah belajarnya. Sudah jadi kebiasaan dia selalu
menanyakan hal-hal yang di luar jangkauan anak seusianya. Sejak di bangku
madrasah dulu dia sudah sering melontarkan pertanyaan-pertanyaan semacam ini,
bahkan pernah saat itu aku sampai kebingungan menjawabnya sehingga aku butuh waktu.
“Memangnya
untuk apa kamu tanya kurikulum 2013 segala, Sya? Kamu kan belum mengajar, kepo
banget sih kamu.” tanggapan Nana.
“Iya!
Memangnya kamu mau ngapain dengan kurikulum 2013?” tambah Dita sambil nyruput
minuman ringan yang barusan dia beli tadi. Memang mereka bertiga sudah
bersahabat semenjak dari madrasah walaupun sekarang sekolah tidak satu SMP tapi
persahabatan mereka tetap terjalin baik. Rasya sekolah di SMP N 1 Salatiga,
Nana sekolah di MTs N Salatiga, dan Dita sekolah di SMP N 2 Pabelan sebuah SMP
di pedesaan namun cukup favorit. Ketiga siswa ini cukup menonjol dengan nilai
di atas rata-rata. Hanya saja ketiganya berasal dari latar belakang ekonomi
yang berbeda-beda. Rasya kedua orang tuanya PNS guru, Nana ayahnya PNS kantor
Kementrian Agama, sedangkan Dita ayahnya seorang petani sayuran.
“Biarin.
Yang tanya kan aku, daripada mati penasaran kan repot.” jawab Rasya.
“Sudah.
Sudah. Ga usah berantem! Sekarang Pak Yayan jawab. Begini Sya, memang banyak
guru yang mengeluh tentang kurikulum 2013 tapi sebenarnya kurikulum 2013 itu
bagus. Pasti bapakmu mengeluh di cara menilaianya. Karena memang cara
menilainya berbeda dengan waktu kamu kelas lima dulu. Tapi jika bapakmu mau
belajar pasti bisa. Buktinya banyak guru yang mau belajar dan bisa. Mereka tidak
banyak mengeluh, tetapi mereka banyak bertanya. Kemudian dari segi pembelajaran
siswa lebih aktif dan guru sebagai fasilitator. Sehingga siswa akan lebih
banyak tahu tentang apa yang mereka pelajari.
Kurikulum 2013 ini cocok sekali untuk anak-anak seperti kamu. Tapi dari metode
mengajar sebenarnya bagus juga, tapi Pak Yayan berpendapat jika metode tetap
kembali ke guru masing-masing. Kurang lebih seperti itu jawaban Pak Yayan.”
“Ooww,
begitu tow. Katanya bukunya juga banyak ya Pak? Bapak saya bilang satu bulan
satu buku harus selesai. Jadi, kata Bapak saya lagi siswa terlalu dibebani
karena harus membeli banyak buku.”
“Kurikulum
2013 itu pembelajarannya seperti kurikulum KTSP 2006 kelas 1 sampai 3 yaitu
secara tematik. Hanya saja kurikulum 2013 setiap tema disediakan satu buku yang
rata-rata selesai dalam satu bulan. Kalau siswa terlalu dibebani Pak Yayan kira
tidak. Coba dibayangkan jika kurikulum 2006 siswa harus memiliki buku sebanyak
mata pelajaran yang diajarkan. Jika kelas I ada 12 mata pelajaran untuk MI,
untuk SD kurang dari 12. Sedangkan jika kurikulum 2013 buku hanya sebanyak tema
yang diajarkan yaitu 4 tema dalam satu semester. Darimana siswa terbebani harus
membeli banyak buku.”
“Saya
kadang juga kadang setuju dengan kata banyak guru, Pak Yayan.”
“Kata
yang bagaimana?” tanyaku sambil menyuap soto yang sudah mulai dingin.
“Setiap
ganti menteri pasti ganti kurikulum.”
“Hehe,
kata siapa seperti itu? Memangnya kamu tahu kita sudah kurikulum dan menteri
berapa kali?” candaku pada Rasya sambil menguji pengetahuannya. Aku kadang suka
menguji pengetahuan Rasya karena kadang aku merasa gemes dengan anak seusia dia
tapi semangat belajarnya luar biasa hebat. Harusnya semua guru seperti Rasya
sehingga ketika menghadapi siswa secerdas dia tidak kaget.
“Secara
garis besar kurikulum pendidikan di Indonesia sudah empat kali berubah sejak
Indonesia Merdeka. Mulai kurikulum rencana pelajaran (1947-1968) yang tediri dari rencana pelajaran 1947, rencana
pelajaran terurai 1952, kurikulum
rencana pendidikan 1964 dan kurikulum 1968. Kedua adalah kurikulum berorientasi
pencapaian tujuan (1975-1994) yang terdiri dari kurikulum 1975, kurikulum 1984,
dan kurikulum 1994. Ketiga adalah kurikulum 2004/2006. Terakhir yang diterapkan
sejak tahun 2013 yaitu Kurtilas guru-guru saya dengar begitu mengucapkannya.” Penjelasan
Rasya sangat lengkap sudah seperti ensiklopedi sejarah kurikulum pendidikan
Indonesia.
“Sekarang Pak Yayan tanya dari
bentuk kurikulum itu apakah semuanya berbeda menterinya?” tanyaku balik pada
Rasya.
“Ya tidaklah Pak. Dari sejarah yang
sudah saya baca Indonesia gonta-ganti menteri pendidikan sudah 42 kali mulai
Menteri Pendidikan pertama Ki Hajar Dewantara hingga Anies Baswedan.” Luar biasa
jawaban anak ini. Seandainya ku tanyakan siapa saja menteri-menteri tersebut
mungkin dia akan menyebutkan ke 42 menteri tersebut tapi aku ga mau
menanyakannya.
“Dari mana kamu tahu kalau ada 42
menteri, Sya? Aku kok baru tahu ternyata sudah banyak sekali menteri pendidikan
kita.” Tanya Nana, ternyata dia juga ikut menyimak jawaban Rasya.
“Kalau kuper jangan dilihatin to,
Na. Malu-maluin.” gaya Dita sok nasehatin.
“Kalian itu kalau ada waktu luang
sukanya OL tapi OL-nya kalua ga FB-an, ya Twitter-an, atau Sosmed lainnya. Baca
dong sejarah agar tambah cinta tanah air.” jawab Rasya.
“Sudah. Sudah. Lha iya, jadi
menurutmu benar tidak ganti menteri ganti
kurikulum, Sya?”
“Ya jelas tidaklah Pak. Kalau kita
jabarkan kurikulum kita berubah-ubah sebanyak sepuluh kali sedangkan menterinya
42 ya ga mungkinlah ganti menteri ganti kurikulum. Yang ada satu kurikulum 3
menteri atau 1 menteri dua kurikulum.”
Aku selalu iri dengan anak ini. Dia
lebih banyak tahu melebihi gurunya. Aku semangat belajar juga dilatar belakangi
olehnya. Ketika itu dia bertanya tentang konsep ketuhanan kepadaku. Aku masih
ingat betul dia bertanya sebenarnya Tuhan itu seperti apa. Jika Tuhan itu satu
kenapa banyak agama dan semuanya memiliki Tuhan. Aku butuh waktu seminggu untuk
mencari jawaban itu. Maka mulai saat itu akan selalu belajar lebih banyak dari
siswa-siswaku.
“Sekarang segera dihabiskan sotonya
sudah siang kalian harus segera pulang. Nanti orang tua kalian mencari kalian.”
“Santai
saja Pak. Kami dan BBM ibu kok kalau kami pulangnya telat. Saya bilang baru
asyik ngobrol dengan Pak Yayan. Lagian hari ini kan liburan trus jarang-jarang
juga ketemu Pak Yayan. Ya ngga Na, Dit?” jawab Rasya. Orang tua mereka percaya
jika mereka belajar dengan aku. Ini sudah sejak mereka di madrasah , bahkan
saat mereka di madrasah selalu belajar ke rumah hingga malam.
“Betul.
Betul. Betul.” jawab Nana dan Dita kompak.
“Kalian
itu macam Upin dan Ipin saja.” jawabku dengan senyum bangga pada mereka.
“Atau
jangan-jangan Pak Yayan buru-buru mau apel ya, mumpung libur? Hayo....
cie..cie...” ledek Dita.
“Hushh!!!
Ngomong apa kamu.” tak ku sangka mereka masih ingat dengan calon istriku. Aku dibuat
kikuk oleh mereka.
“Segera
nikah aja to, Pak. Ntar keburu tua lho...” tambah Nana.
“Nunggu
apa to Pak. Kerja sudah, pengalaman juga sudah banyak.” Rasya ikut-ikutan.
“Kalian
itu ya, kalau ngledekin Pak Yayan tetep
aja kompak. Nunggu waktu yang tepat aja.” jawabku sekenanya. Selain anak-anak
ini sudah banyak teman guru yang bertanya sama. Kapan aku menikah dan masih nunggu apa lagi. Calon sudah ada, kerja
sudah, tentu penghasilan juga sudah punya, dan pengalaman sudah banyak. Saat sendiri
aku juga sedih ketika mengingat pertanyaan-pertanyaan itu.
“Pulang
Yuk.” ajak Nana membuyarkan lamunanku.
“Bentar
sotoku belum habis.” jawab Dita.
“Makan
mu sama mandimu itu sama. Sama-sama lama. Buruan dihabisin.” Nana agak sebel.
Dita memang lama kalau mandi. Kadang bisa sampai satu jam, belum lagi
dandannya. Tak jarang temen-temennya jengkel karena terlalu lama nunggu kalau
mau keluar bareng.
“Bentar,
aku bayar soto dulu.” sela Rasya.
“Ga
usah! Pak Yayan aja yang bayar.”
“Bener
nih, Pak? Makasih ya Pak. Tak doain semoga rejekinya tambah banyak, berkah, dan
segera nikah.” timpal Dita senang.
“Cepetan
dihabisin sotomu!” Nana jengkel karena Dita ga segera habisin sotonya.
“Amin.
Terima kasih doanya.” Sudah biasa jika aku mentraktir mereka makan. Pada anak-anak
lain pun aku sudah terbiasa mentraktir sehingga mereka jadi lebih akrab
denganku.
Semua
sudah selesai. Dita sotonya sudah habis dan juga sudah aku bayar. Kita berempat
berjalan menyusuri selasar kartini. Sambil berjalan Rasya masih ada hal yang
dia sampaikan. Jika dia jadi menteri pendidikan dia punya konsep kurikulum yang
menurutnya bagus.
“Pak...”
“Ya,
Sya. Bagaimana?”
“Jika
saya jadi menteri pendidikan saya punya konsep kurikulum yang bagus jika
diterapkan di Indonesia.”
“O,
ya? Amin. Semoga saja bisa. Bagaimana kosepnya?” tanyaku penasaran. Tak ku
sangka anak ini sudah sangat jauh sekali dalam berfikir tentang kurikulum.
“Kurikulum
itu saya namakan Kurikulum Asmaul Husna. Rujukan untuk gurunnya adalah Al Quran
dan Hadist Nabi Muhammad Saw. Saya yakin itu sempurna.” luar biasa pemikiran
anak ini. Tak terbayangkan sedikitpun dalam benakku tentan kurikulum itu.
To
Be Continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar