Latest Post :
Home » » KURIKULUM ASMAUL HUSNA

KURIKULUM ASMAUL HUSNA

Jumat, 23 Januari 2015 | 0 komentar



KURIKULUM ASMAUL HUSNA

Oleh : Yayan Putra
Suatu pagi yang cerah di bawah pohon yang rindang saat aku menikmati segarnya udara pagi tiba-tiba dikagetkan seorang anak laki-laki.
“Assalamualaikum, Pak!”
“Wa... Walaikum salam.” jawabku kaget.
“Hehe, maaf Pak mengagetkan. Sendirian saja ni, Pak?” tanya Rasya. Rasya adalah salah satu muridku yang pandai. Saat di madrasah dia tidak pernah absen dari juara 1. Dia juga sering menjuarai berbagai lomba dari tingkat kecamatan hingga tingkat provinsi. Kini Ia kelas VIII di sebuah SMP favorit di kota Salatiga.
“ Ah, tidak apa-apa. Iya nih sendirian. Mau ngajak teman jam segini belum pada bangun. Biasa usia-usia seperti kakakmu itu memanfaatkan hari libur gini untuk tidur sepuasnya. Kamu sendirian juga?” Usiaku dengan Rasya memang tidak terpaut jauh. Bisa dibilang aku sesusia dengan kakaknya. Ketika pertama aku mengajarnya saat itu aku masih kuliah semester 6 dan dia kelas lima. Sejak bertemu itu aku sudah bisa menebak jika dia adalah anak yang cerdas.
“Tidak, Pak. Tadi sama temen-temen tapi ga tahu pada kemana. Kayaknya lagi pada cari minum. Nana dari tadi sudah ngeluh kalau haus. Mungkin dia sama Dita baru cari minum di kios pojok sana.”
“Terus kenapa kamu ga ikut?”
“Tadi dari kejauhan saya melihat Pak Yayan terus saya hampiri deh. Sebenarnya ada sesuatu yang ingin saya tanyakan dan ingin saya sampaikan ke Pak Yayan.”
“Kayaknya tenanan men1. Ingin menyampaikan apa to?”
“Iya Pak. Ini memang masalah serius.”
“Ok. Ok. Kita cari tempat yang nyaman sambil sarapan untuk ngobrol.” Aku ajak Rasya mencari tempat makan untuk melanjutkan obrolannya. Baru dua langkah berjalan tiba-tiba Hp Rasya berbunyi. Nana dan Dita ngirim pesan jika mencarinya.
“Kayaknya di ujung jalan sana ada warung soto yang luas Pak, ayo kita ke sana saja.” ajak Rasya. Rasya kemudian membalas pesan Nana jika dia akan menyusulnya. Nana di duruh nunggu di depan kios dia beli minum, nanti dia akan menghampiri sekalian untuk diajak sarapan. Setelah sampai kami berempat kemudian pesan soto.
“Memangnya mau menyampaikan apa to, Sya?” aku mengawali obrolan.
“Begini lho Pak Yayan. Pak Yayan tahu kan kalau bapak saya itu guru SD. Nah tahun ini kan beliau mendapat jatah kelas IV, sehingga harus menerapkan kurikulum 2013. Bapak itu selalu mengeluh dalam pelaksanaannya. Apa bener jika kurikulum 2013 itu susah Pak, sampai-sampai kok Mendibud mengundur pelaksanaannya?” tanya Rasya panjang lebar. Aku sendiri tidak kaget jika dia bertanya hal semacam ini. Hal ini sebenarnya bukan termasuk ranah belajarnya. Sudah jadi kebiasaan dia selalu menanyakan hal-hal yang di luar jangkauan anak seusianya. Sejak di bangku madrasah dulu dia sudah sering melontarkan pertanyaan-pertanyaan semacam ini, bahkan pernah saat itu aku sampai kebingungan menjawabnya sehingga aku butuh waktu.
“Memangnya untuk apa kamu tanya kurikulum 2013 segala, Sya? Kamu kan belum mengajar, kepo banget sih kamu.” tanggapan Nana.
“Iya! Memangnya kamu mau ngapain dengan kurikulum 2013?” tambah Dita sambil nyruput minuman ringan yang barusan dia beli tadi. Memang mereka bertiga sudah bersahabat semenjak dari madrasah walaupun sekarang sekolah tidak satu SMP tapi persahabatan mereka tetap terjalin baik. Rasya sekolah di SMP N 1 Salatiga, Nana sekolah di MTs N Salatiga, dan Dita sekolah di SMP N 2 Pabelan sebuah SMP di pedesaan namun cukup favorit. Ketiga siswa ini cukup menonjol dengan nilai di atas rata-rata. Hanya saja ketiganya berasal dari latar belakang ekonomi yang berbeda-beda. Rasya kedua orang tuanya PNS guru, Nana ayahnya PNS kantor Kementrian Agama, sedangkan Dita ayahnya seorang petani sayuran.
“Biarin. Yang tanya kan aku, daripada mati penasaran kan repot.” jawab Rasya.
“Sudah. Sudah. Ga usah berantem! Sekarang Pak Yayan jawab. Begini Sya, memang banyak guru yang mengeluh tentang kurikulum 2013 tapi sebenarnya kurikulum 2013 itu bagus. Pasti bapakmu mengeluh di cara menilaianya. Karena memang cara menilainya berbeda dengan waktu kamu kelas lima dulu. Tapi jika bapakmu mau belajar pasti bisa. Buktinya banyak guru yang mau belajar dan bisa. Mereka tidak banyak mengeluh, tetapi mereka banyak bertanya. Kemudian dari segi pembelajaran siswa lebih aktif dan guru sebagai fasilitator. Sehingga siswa akan lebih banyak tahu tentang apa yang mereka  pelajari. Kurikulum 2013 ini cocok sekali untuk anak-anak seperti kamu. Tapi dari metode mengajar sebenarnya bagus juga, tapi Pak Yayan berpendapat jika metode tetap kembali ke guru masing-masing. Kurang lebih seperti itu jawaban Pak Yayan.”
“Ooww, begitu tow. Katanya bukunya juga banyak ya Pak? Bapak saya bilang satu bulan satu buku harus selesai. Jadi, kata Bapak saya lagi siswa terlalu dibebani karena harus membeli banyak buku.”
“Kurikulum 2013 itu pembelajarannya seperti kurikulum KTSP 2006 kelas 1 sampai 3 yaitu secara tematik. Hanya saja kurikulum 2013 setiap tema disediakan satu buku yang rata-rata selesai dalam satu bulan. Kalau siswa terlalu dibebani Pak Yayan kira tidak. Coba dibayangkan jika kurikulum 2006 siswa harus memiliki buku sebanyak mata pelajaran yang diajarkan. Jika kelas I ada 12 mata pelajaran untuk MI, untuk SD kurang dari 12. Sedangkan jika kurikulum 2013 buku hanya sebanyak tema yang diajarkan yaitu 4 tema dalam satu semester. Darimana siswa terbebani harus membeli banyak buku.”
“Saya kadang juga kadang setuju dengan kata banyak guru, Pak Yayan.”
“Kata yang bagaimana?” tanyaku sambil menyuap soto yang sudah mulai dingin.
“Setiap ganti menteri pasti ganti kurikulum.”
“Hehe, kata siapa seperti itu? Memangnya kamu tahu kita sudah kurikulum dan menteri berapa kali?” candaku pada Rasya sambil menguji pengetahuannya. Aku kadang suka menguji pengetahuan Rasya karena kadang aku merasa gemes dengan anak seusia dia tapi semangat belajarnya luar biasa hebat. Harusnya semua guru seperti Rasya sehingga ketika menghadapi siswa secerdas dia tidak kaget.
“Secara garis besar kurikulum pendidikan di Indonesia sudah empat kali berubah sejak Indonesia Merdeka. Mulai kurikulum rencana pelajaran (1947-1968) yang tediri dari rencana pelajaran 1947, rencana pelajaran terurai 1952,  kurikulum rencana pendidikan 1964 dan kurikulum 1968. Kedua adalah kurikulum berorientasi pencapaian tujuan (1975-1994) yang terdiri dari kurikulum 1975, kurikulum 1984, dan kurikulum 1994. Ketiga adalah kurikulum 2004/2006. Terakhir yang diterapkan sejak tahun 2013 yaitu Kurtilas guru-guru saya dengar begitu mengucapkannya.” Penjelasan Rasya sangat lengkap sudah seperti ensiklopedi sejarah kurikulum pendidikan Indonesia.
“Sekarang Pak Yayan tanya dari bentuk kurikulum itu apakah semuanya berbeda menterinya?” tanyaku balik pada Rasya.
“Ya tidaklah Pak. Dari sejarah yang sudah saya baca Indonesia gonta-ganti menteri pendidikan sudah 42 kali mulai Menteri Pendidikan pertama Ki Hajar Dewantara hingga Anies Baswedan.” Luar biasa jawaban anak ini. Seandainya ku tanyakan siapa saja menteri-menteri tersebut mungkin dia akan menyebutkan ke 42 menteri tersebut tapi aku ga mau menanyakannya.
“Dari mana kamu tahu kalau ada 42 menteri, Sya? Aku kok baru tahu ternyata sudah banyak sekali menteri pendidikan kita.” Tanya Nana, ternyata dia juga ikut menyimak jawaban Rasya.
“Kalau kuper jangan dilihatin to, Na. Malu-maluin.” gaya Dita sok nasehatin.
“Kalian itu kalau ada waktu luang sukanya OL tapi OL-nya kalua ga FB-an, ya Twitter-an, atau Sosmed lainnya. Baca dong sejarah agar tambah cinta tanah air.” jawab Rasya.
“Sudah. Sudah. Lha iya, jadi menurutmu benar tidak ganti menteri  ganti kurikulum, Sya?”
“Ya jelas tidaklah Pak. Kalau kita jabarkan kurikulum kita berubah-ubah sebanyak sepuluh kali sedangkan menterinya 42 ya ga mungkinlah ganti menteri ganti kurikulum. Yang ada satu kurikulum 3 menteri atau 1 menteri dua kurikulum.”
Aku selalu iri dengan anak ini. Dia lebih banyak tahu melebihi gurunya. Aku semangat belajar juga dilatar belakangi olehnya. Ketika itu dia bertanya tentang konsep ketuhanan kepadaku. Aku masih ingat betul dia bertanya sebenarnya Tuhan itu seperti apa. Jika Tuhan itu satu kenapa banyak agama dan semuanya memiliki Tuhan. Aku butuh waktu seminggu untuk mencari jawaban itu. Maka mulai saat itu akan selalu belajar lebih banyak dari siswa-siswaku.
“Sekarang segera dihabiskan sotonya sudah siang kalian harus segera pulang. Nanti orang tua kalian mencari kalian.”  
“Santai saja Pak. Kami dan BBM ibu kok kalau kami pulangnya telat. Saya bilang baru asyik ngobrol dengan Pak Yayan. Lagian hari ini kan liburan trus jarang-jarang juga ketemu Pak Yayan. Ya ngga Na, Dit?” jawab Rasya. Orang tua mereka percaya jika mereka belajar dengan aku. Ini sudah sejak mereka di madrasah , bahkan saat mereka di madrasah selalu belajar ke rumah hingga malam.
“Betul. Betul. Betul.” jawab Nana dan Dita kompak.
“Kalian itu macam Upin dan Ipin saja.” jawabku dengan senyum bangga pada mereka.
“Atau jangan-jangan Pak Yayan buru-buru mau apel ya, mumpung libur? Hayo.... cie..cie...” ledek Dita.
“Hushh!!! Ngomong apa kamu.” tak ku sangka mereka masih ingat dengan calon istriku. Aku dibuat kikuk oleh mereka.
“Segera nikah aja to, Pak. Ntar keburu tua lho...” tambah Nana.
“Nunggu apa to Pak. Kerja sudah, pengalaman juga sudah banyak.” Rasya ikut-ikutan.
“Kalian itu ya, kalau ngledekin Pak Yayan tetep  aja kompak. Nunggu waktu yang tepat aja.” jawabku sekenanya. Selain anak-anak ini sudah banyak teman guru yang bertanya sama. Kapan aku menikah dan  masih nunggu apa lagi. Calon sudah ada, kerja sudah, tentu penghasilan juga sudah punya, dan pengalaman sudah banyak. Saat sendiri aku juga sedih ketika mengingat pertanyaan-pertanyaan itu.
“Pulang Yuk.” ajak Nana membuyarkan lamunanku.
“Bentar sotoku belum habis.” jawab Dita.
“Makan mu sama mandimu itu sama. Sama-sama lama. Buruan dihabisin.” Nana agak sebel. Dita memang lama kalau mandi. Kadang bisa sampai satu jam, belum lagi dandannya. Tak jarang temen-temennya jengkel karena terlalu lama nunggu kalau mau keluar bareng.
“Bentar, aku bayar soto dulu.” sela Rasya.
“Ga usah! Pak Yayan aja yang bayar.”
“Bener nih, Pak? Makasih ya Pak. Tak doain semoga rejekinya tambah banyak, berkah, dan segera nikah.” timpal Dita senang.
“Cepetan dihabisin sotomu!” Nana jengkel karena Dita ga segera habisin sotonya.
“Amin. Terima kasih doanya.” Sudah biasa jika aku mentraktir mereka makan. Pada anak-anak lain pun aku sudah terbiasa mentraktir sehingga mereka jadi lebih akrab denganku.
Semua sudah selesai. Dita sotonya sudah habis dan juga sudah aku bayar. Kita berempat berjalan menyusuri selasar kartini. Sambil berjalan Rasya masih ada hal yang dia sampaikan. Jika dia jadi menteri pendidikan dia punya konsep kurikulum yang menurutnya bagus.
“Pak...”
“Ya, Sya. Bagaimana?”
“Jika saya jadi menteri pendidikan saya punya konsep kurikulum yang bagus jika diterapkan di Indonesia.”
“O, ya? Amin. Semoga saja bisa. Bagaimana kosepnya?” tanyaku penasaran. Tak ku sangka anak ini sudah sangat jauh sekali dalam berfikir tentang kurikulum.
“Kurikulum itu saya namakan Kurikulum Asmaul Husna. Rujukan untuk gurunnya adalah Al Quran dan Hadist Nabi Muhammad Saw. Saya yakin itu sempurna.” luar biasa pemikiran anak ini. Tak terbayangkan sedikitpun dalam benakku tentan kurikulum itu.

To Be Continued ....
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Original Template | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2012. MI TARBIYATUL ULUM MENCETAK GENERASI SUKSES
Modifikasi Tampilan Oleh Pangeran Yayan Putra
Proudly powered by Kang Blogger